Epilog 3

Riette von Lindmann.

Huruf timbul yang bertuliskan nama almarhum bersinar terang di batu nisan di bawah terik matahari sore. Claudine berdiri menatap nama itu, berharap nama itu diubah, untuk mengetahui bahwa ada kesalahan dan ini adalah orang lain.

Mata biru laut dari pria yang menyandang nama itu tertutup selamanya. Dia tidak bisa lagi menemukan kedamaian yang menenangkan di kedalaman tenang mata yang selalu berfungsi untuk menenangkan kekacauan yang terus-menerus hadir dalam pikirannya.

Bayangan pepohonan semakin panjang seiring matahari terbenam. Mereka membentang melintasi pekuburan ke arahnya, mengancam akan menyeretnya ke dalam kedinginan. Claudine menggigil dan memeluk dirinya erat-erat. Wajah pucatnya, setengah terbuka di balik topi bertepi lebar, tidak menunjukkan emosi.

Kenangan yang tak terhitung jumlahnya yang telah mengacaukan pikirannya sepanjang perjalanan ke sana menghilang saat dia berdiri di depan makamnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan lapisan kelelahan di wajahnya.

'Aku mencintaimu, Claudine'

'Ayo pergi bersama.'

Angin sejuk membuat dedaunan berdesir, seolah-olah mereka membisikkan kata-kata manis Riette padanya.

Mata birunya yang hangat berkilauan dengan ketulusan murni, tampak berkilauan di bawah sinar matahari. Dia benar-benar ingin mengatakan ya pada lamarannya dan melarikan diri dari mimpi buruk ini dengan satu-satunya pria yang benar-benar peduli padanya, tapi pria itu sudah pergi sekarang, pergi berperang dalam perang orang lain, dan tidak pernah kembali ke rumah.

Pikiran itu membara di hatinya, bahwa Riette bahkan tidak terkubur di bawah penanda ini, dia sendirian. Bisakah dia mendengarnya, atau dia hanya berbicara dengan angin dingin? Bayangan pepohonan melebar dan menyelimuti dirinya dalam kehampaan yang dingin. Dia berlutut dan membiarkan bayangan membawanya masuk.

Lagipula dia tidak merasakan kedinginan. Konon ketika seseorang terlalu banyak mengalami kesialan, ketika hidup yang ada hanyalah kesengsaraan, mereka menjadi sekam tanpa emosi, sedingin batu yang menandai matinya cintanya, itulah yang dia rasakan sekarang, jika dia merasakan sesuatu.

Dia berharap dia bisa mendengar jawabannya, agar dia tahu bahwa dia ingin melarikan diri bersamanya, karena hanya mereka berdua.

"Ya." Dia berkata ke tanah. Pepohonan berbisik satu sama lain, saat dia menyatakan, mereka bersekongkol sambil bersandar satu sama lain, membisikkan pikiran mereka yang dalam dan gelap. Mereka tahu. Untuk ya. Jika Claudine kembali ke situasi itu, dia akan tetap memberikan jawaban yang sama pada akhirnya. Dia masih tidak berubah pikiran tentang apa yang dia katakan, bahkan sampai sekarang. Namun, perasaan penyesalannya yang menggerogoti hanya terjadi pada hal-hal dan momen-momen yang sangat kecil.

Dia merasa hari ini bahwa kenangan juga merupakan siksaan.

Dia ingat. Berkali-kali dia berdiri di pintu depan dan menyaksikan Riette pergi, tidak pernah sekalipun dia melambaikan tangan padanya.

Kenapa dia tidak melambai? Mungkin jika dia tertawa lebih banyak saat berada di dekatnya, atau mungkin sekadar tersenyum untuk menunjukkan betapa bahagianya dia. Apakah semuanya akan berbeda?

'Halo.'

Dia mungkin mulai menyukai kata-kata ini ketika mereka biasa membagikannya.

Hanya ucapan "halo" sederhana yang mereka sampaikan pada hari terakhir dia bertemu dengannya. Itu terakhir kali mereka berbicara. Percakapan singkat "halo" itu terus melekat dalam ingatannya. Sekarang dia punya banyak hal untuk dikatakan, meminta agar mereka berbicara tanpa henti selama berhari-hari.

"Kenapa kamu tidak menyerah padaku, dan bagaimana kamu bisa mencintaiku seperti itu?" Pikirannya berpacu dengan pertanyaan-pertanyaan, tapi dia mendorongnya ke bawah, membiarkan segumpal pertanyaan itu melewati dadanya dan masuk ke dalam jiwanya. Tidak ada gunanya berlama-lama memikirkan pertanyaan yang tidak bisa dijawab.

Dia meletakkan mawar merah di dasar batu nisan. Bulu warna-warni dan pita topinya bergoyang dan terangkat saat dia bangkit dari tanah

"Halo, Riette." Claudine membalas sapaannya, sedikit tersenyum meskipun dia terlambat.

'Halo cintaku'

Dia ingin mendengar suaranya sekali lagi, dan berharap dia akan menjawab. Kata-kata yang tampaknya tidak berarti itu diam-diam terukir di lubuk hatinya.

Itu khayalan yang bodoh, tapi itu tidak menghentikan keinginannya untuk hanya sekedar imajinasi kasar.

"Kurasa kita sudah mengucapkan selamat tinggal terakhir kita."

Claudine mengusap sudut matanya sebelum dia berpaling dari batu nisan. Tanpa menoleh ke belakang, dia meninggalkan kuburan dan memasuki mobil yang menunggu. Sedikit kemerahan muncul di matanya, tapi pinggiran topinya menutupi keseluruhannya.

Mobil membawanya kembali ke kota. Pasangan Brandt, orang tuanya sedang menantikan kunjungan tunangan barunya hari ini dan Claudine dituntut untuk tampil rapi pada kesempatan tersebut. Pandangannya tertuju pada pemandangan bergerak di luar, tapi dia tidak terlalu memperhatikan jalan-jalan biru cerah yang berkelok-kelok melintasi kota di luar jendela.

Kini hidupnya telah menjadi korban kebingungan yang luar biasa.

Tunangannya tidak terlalu kaya. tentu saja tidak menurut standar Herhardt. Dia memiliki reputasi sebagai pria terhormat dan pemilik tanah di benua baru di seberang lautan. Ini lebih merupakan perjodohan demi kenyamanan. Hal ini tidak mungkin bisa diterima di masa lalu, namun orang tuanya, yang menyadari bahwa ketidakstabilan yang disebabkan oleh perang memerlukan banyak perubahan, dengan senang hati memilih dia sebagai menantu mereka.

Claudine tetap acuh tak acuh.

Wajah Duke Herhardt, yang dianggap sudah mati, ternyata hidup dan menikahi majikannya, ibu dari anak haram, masih menjadi topik hangat di sebagian besar kalangan sosial di kekaisaran Berg, dan nama Claudine juga muncul dari waktu ke waktu. untuk waktu.

Korban dari pernikahan yang "kotor".

Tidak semuanya adalah rasa kasihan atau kasih sayang. Nasib malang Claudine von Brandt karena kehilangan tunangannya karena wanita seperti itu disambut gembira oleh sebagian besar masyarakat. Tapi itu hanya sedikit keributan di matanya. Dia berusaha untuk tidak membiarkan hal itu mengganggunya dan menjauhkan diri dari percakapan semacam itu.

Matanya, mengamati jalanan cerah berwarna-warni yang lewat melalui jendela mobil, tiba-tiba kembali tenang. Pernikahan musim panas yang mereka rencanakan seharusnya dilangsungkan di perkebunan tunangan barunya di seberang lautan. Semuanya sudah siap untuk berangkat, dan yang perlu dilakukan hanyalah naik ke kapal dan berlayar ke benua baru.

Mobil berhenti di depan sebuah hotel Di jalan yang dipenuhi pusat perbelanjaan kelas atas. Di sini, dia seharusnya menghadiri acara sosial bersama ibunya sebelum kembali ke rumah Brandt.

"Selamat datang, Nona." Kata seorang pelayan. Dia mengawasinya dengan mata tenang.

Setelah mengatur topinya di tempatnya, Claudine keluar dari mobil dengan anggun. Hal-hal tersebut menjadi hal yang alami baginya sekarang, namun latihan bertahun-tahun sebagai seorang anak merupakan pekerjaan yang sangat melelahkan. Dia dengan percaya diri menaiki tangga, menunggu penjaga pintu membukakan pintu hotel untuknya, lalu langsung masuk.

Lampu gantung yang besar dan mewah berkilau dan bersinar di atas kepalanya, memancarkan cahaya keemasan di sekitar serambi, memberikan segala rona yang sangat kaya. Hari ini seperti biasa, dunia kepura-puraan tampak indah dengan segala kemegahan dan kecanggihannya.

Dia mencintai dunia ini meskipun penampilannya menipu.

Dunia di mana segala sesuatunya dibuat dengan keanggunan yang penuh kasih. Kehidupan yang dia kenal dan nyaman di dalamnya.

Claudine tiba-tiba berhenti di tengah lobi dan memejamkan mata.

Apakah dia ragu-ragu?

Atau, apakah dia mencoba melupakan sesuatu?

Tidak ada yang tahu.

Sulit untuk mengatakannya, tetapi jauh di lubuk hatinya, dia merasa siap untuk melanjutkan hidupnya meskipun masa lalunya yang termasyhur.

Dia mengedipkan matanya hingga terbuka dan melanjutkan langkahnya menuju dunia indah mempesona yang dia cintai.

*.·:·.✧.·:·.*

Mobil yang membawa keluarga Herhardt melaju keluar dari halaman universitas menuju taman. Bersama-sama, mereka berjalan-jalan di taman, menikmati bunga musim semi yang mewarnai udara dengan aroma harum.

Mereka berjalan bersama seperti keluarga biasa beranggotakan tiga orang. Mereka tampak cukup bahagia, pasangan yang saling mencintai dan menyayangi anak kecil mereka. Rasanya seperti sesuatu yang keluar dari dongeng: sebuah keluarga yang akhirnya bertemu satu sama lain dan hidup bahagia selamanya.

Mark Evers tahu sebaliknya ketika dia memperhatikan mereka berjalan. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui apa yang dilakukan Duke Herhardt pagi itu dan hal itu membuatnya merasa sedikit aneh.

Setelah pindah ke Ratz, Duke menjadi seorang pebisnis. Dia menghadiri acara-acara penting dan memenuhi tugasnya sebagai Duke dengan sikap profesional, namun dia jelas menjaga garis tegas antara formalitas dan sosialisasi.

Para bangsawan dari kalangan formal menganggap hal ini sebagai penghinaan terhadap kehormatan mereka dan mereka sangat marah. Mereka tidak berani mengonfrontasi Duke secara langsung mengenai hal ini, mereka bukanlah orang bodoh dan tahu bahwa mempertanyakan seseorang yang tampaknya melakukan pekerjaannya dengan sangat baik, hanya akan berdampak buruk bagi mereka. Mereka menganggap keluarga Dukes adalah kelemahannya dan berupaya mengincar Duchess dan putranya.

Mereka diperintahkan untuk menyebarkan desas-desus jahat tentang Duchess dan berbicara tentang anak laki-laki itu dengan kata-kata yang kurang menyenangkan. Pembicaraan kotor mereka menyebar seperti wabah dan karena Duke tidak menaruh perhatian pada hal-hal yang tidak masuk akal, dia mengabaikan mereka, yang hanya membuat mereka semakin buruk seiring berjalannya waktu.

Begitulah, sampai sekarang. Begitu tersiar kabar tentang apa yang telah dilakukan Duke hari ini, hal itu akan menghentikan rasa tidak puas hati yang kejam ini dan menghentikan bisikan-bisikan mereka di ruang belakang.

Count Stein, salah satu pemimpin kelompok ini, yang menyebarkan berita yang akan merusak reputasi Duchess Leyla von Herhardt dan menyatakan bahwa putranya tidak lebih dari anak anjing kampung yang berdarah najis, bangkrut hari ini.

Satu demi satu, bisnis tembakau Count dan usaha kecil lainnya runtuh begitu saja. Duke telah menyelesaikan keputusannya pagi itu juga dan Count pasti akan mengetahui beritanya sekarang, ketika Duke dengan licik mencuri sesuap es krim istrinya.

Setelah Duke menyelesaikan beberapa urusan kecil lainnya di pertemuan pagi hari, tanpa mengedipkan mata, atau mengangkat gelas menuju kemenangan, dia kembali ke keluarganya untuk menikmati sisa sore itu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Tanda-tanda pria kejam itu tidak terlihat. Tak seorang pun menyangka bahwa ia baru saja menggulingkan sebuah kerajaan hanya dengan sekejap, namun dampaknya akan memberikan efek domino yang sangat besar bagi semua orang yang telah menjelek-jelekkan istri dan anaknya.

Mark Evers menahan tawa. Duke melihatnya dan melambaikan tangannya secara diam-diam.

Segera, dia mundur, dan pergi mengembara tanpa tujuan, menikmati cuaca cerah di bawah sinar matahari sore yang indah.

*.·:·.✧.·:·.*

Mereka sedang beristirahat di bawah rindangnya kanopi pohon yang bunganya berwarna merah jambu lembut. Leyla duduk menghadap pohon dan Matthias meletakkan kepalanya di pangkuannya yang hangat. Hanya dua detik saja putra mereka bisa duduk diam sebelum dia mulai berlari berputar-putar di sekitar pohon.

"Kamu tampak lelah." Leyla berkata sambil memeriksa wajahnya.

Hanya satu "hmmm" dari Matthias yang bisa dia kumpulkan. Pikirannya ada di tempat lain.

"Kamu sangat sibuk akhir-akhir ini," Leyla melanjutkan.

"Mungkin sedikit." Matthias berkata lembut dan menutup matanya.

"Kamu sibuk apa hari ini?"

"Hanya...tidak ada apa-apa," Matthias mengangkat bahu. "Itu bukanlah sesuatu yang istimewa, tapi tetap penting." lanjutnya dengan suara lelah.

Dia belum pernah bersikap bermusuhan terhadap rekan bisnis sebelumnya, dia suka menunjukkan kemurahan hati. Terakhir kali dia melihat Count Stein, dia memberinya kesempatan untuk menceritakan kembali kata-katanya dan menunjukkan kerendahan hati, satu kesempatan terakhir untuk mendapatkan bantuannya.

Namun sikap pasangan itu tetap tidak berubah setelah mereka terang-terangan memfitnah istri dan putranya. Tadi malam, saat acara sosial, Countess Stein tanpa malu-malu menolak sambutan yang diberikan Leyla, membuatnya merasa malu di depan seluruh hadirin.

Mereka telah berusaha menyembunyikan kelompok bisikan kecil mereka dari pandangan Duke Herhardt tetapi keenam indera Matthias selalu diarahkan pada istrinya, Leyla von Herhardt.

Setelah makan malam, saat para pria berkumpul di ruang cerutu. Matthias mendekati Count Stein dengan cerutu di tangannya.

"Cerutu ini adalah bukti ucapan baik keluargamu, Count Stein." Matthias berkata sopan sambil mengamati cerutu itu dengan ibu jari dan jarinya, lalu menggulungnya sedikit. "Apakah menurut Anda itu sama bagusnya dengan garis keturunan Anda?"

"Aku... tidak mengerti maksudmu." Count Stein mengerutkan kening sambil bertanya dengan sikap defensif.

Apa artinya itu? Matthias mengeluarkan kepulan asap abu-abu ke langit-langit. "Garis keturunan murni yang memproduksi tembakau murni, bisnis Anda pasti sangat diidamkan."

"Saya rasa begitu." Kata Count. "Ada beberapa yang ingin menjadi bagian dari bisnis saya, tapi Anda harus menjadi orang kaya." Dia tertawa kecil yang digaungkan oleh antek-antek yang berdiri di sekelilingnya.

"Yah, cerutu ini adalah karya bagus dan merupakan bukti kemurnian garis keturunan Stein." Matthias berkata dengan nada menilai.

Tawa itu memudar. "Maaf, tapi aku masih belum mengerti maksudmu." Pangeran bertanya

"Nah, jika cerutu itu dibuat oleh seseorang, katakanlah, kaldu anjing kampung, apakah rasanya akan sama enaknya?" Matthias menghela nafas. "Saya hanya berharap saya bisa lebih sering menikmati cerutu roti murni seperti ini."

"Apakah kamu mencoba memberikan ancaman karena istrimu?" Count Stein mulai gelisah dengan permainan kecil Matthias.

"Ya ampun, kamu cerdas sekali." Matthias tersenyum lalu berdiri tegak, memberikan pamer yang sangat agung yang selama ini tersembunyi. Dia menggali otoritas dan kata-katanya yang lucu pun hilang. Count mundur selangkah karena terkejut. "Saya tidak bercanda dengan Anda, Pangeran Stein. Pembicaraan ini tentu saja membuat saya tertarik dengan bisnis tembakau. Dalam urusan Anda." Matthias berkata dengan penuh wibawa. Gravitasinya begitu halus, tidak ada yang memperhatikan antek Count Stein perlahan-lahan mendekat ke arahnya.

"Saya yakin Duke Herhardt dapat membedakan gosip bisnis dan sosial, jika Anda mau, kita dapat berbicara di pagi hari, pada waktu yang lebih tepat." Count berkata dengan percaya diri. Dia mungkin mengira dia bisa menipu Duke untuk mendapatkan sebagian uangnya dan menjadikannya sasaran banyak gosip sosial.

"Meski begitu," kata Duke, berdiri tegap dan tinggi. "Aku punya sedikit kesabaran terhadap orang-orang sepertimu, yang akan memfitnah nama wanita baik hanya untuk mendapatkan perhatian kecil dari para penjilat yang merendahkan diri ini." Matthias melemparkan cerutu yang setengahnya dihisap ke dalam nampan abu. "Setiap kekurangan kecil dapat digunakan sebagai keuntungan dan Anda penuh dengan kekurangan, Count Stein, bahkan kekurangan yang Anda anggap sebagai kekuatan Anda."

"Duke Herhardt!" Count menyatakan.

Matthias membersihkan abu dari kamar hitamnya yang bersih dan mendekati Count Stein, dengan tatapan membunuh di matanya. "Saya adalah pria yang sangat bersemangat dalam hal istri dan anak saya." Matthias melihat ke luar pintu ruang cerutu, di mana dia bisa melihat ke ruang duduk dan istrinya. Dia berdiri sendirian, di tepi pertemuan berpasangan. "Semua orang membuat kesalahan, Count Stein, semuanya. Ada yang lebih buruk dari yang lain, ada pula yang mengutuk seseorang." Matias berhenti. "Saya menantikan hari esok, ketika bahkan para kaisar pun akan mendapati kerajaan mereka dihancurkan di depan mata mereka yang tak berdaya."

Sambil membungkuk kepada Count Stein, Matthias keluar dari ruang cerutu dan pergi menjemput istrinya. Partai tersebut telah memburuk dan segala prospek untuk membangun jembatan pupus sebelum tanahnya dirobohkan. Dia benar-benar menunggu dengan sabar. Namun, pasangan ini membawa malapetaka pada diri mereka sendiri dengan menyebarkan fitnah lebih lanjut tentang Leyla dan Felix padahal tindakan sederhana berupa permintaan maaf bisa menyelamatkan mereka.

Lalu, untuk apa kerutan ini? Sentuhan lembutnya membawa Matthias kembali ke masa kini. Dia membuka matanya dan menatap matanya. Itu adalah kumpulan keingintahuan yang mendalam dan melihatnya membuat hatinya gatal karena kehangatan. Namun dia menutup matanya lagi setelah nyengir sedikit untuk menghindari topik yang membosankan. Tidak ada alasan untuk memberi tahu Leyla bahwa Stein telah bangkrut.

"Apakah kamu merasa tidak enak badan?" Leyla bertanya dengan cemas.

"TIDAK,"

"Benarkah?"

"Benar."

"Baiklah. Kalau begitu, tidurlah." Saat jari lembut Leyla menelusuri wajahnya, Matthias menutup matanya dengan nyaman. Mereka menggelitik wajahnya dan membuatnya kesurupan. Dia tidak merasa mengantuk, tetap saja dia menganggukkan kepalanya dengan patuh.

Istrinya yang berhati lembut akan menghujaninya dengan kasih sayang yang tak ada habisnya ketika suaminya terlihat sedikit tidak sehat. Sekarang dia tahu bagaimana memanfaatkannya dengan baik. Bekas luka di tubuhnya terkadang terbukti berguna.

Meskipun hal itu membuat Matthias merasa tidak enak, namun dia menyukai saat-saat ketika Leyla tampak patah hati dan kesal, hanya karena fakta bahwa hal itu memberinya tujuan.

Saat itu, sepertinya hanya dialah satu-satunya yang ada di dunianya, padahal tidak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua. Hal ini sering terjadi, bahkan ketika mereka berjalan-jalan di acara sosial yang ramai, atau di museum dan galeri seni yang ramai. Bahkan saat Felix berlari mengelilingi mereka sambil tertawa dan terkikik melihat permainan konyolnya. Sebenarnya tidak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua.

"Jangan sakit."

Dia merasakan kedutan lembut di telinganya karena suara yang pelan dan pelan. Tangan Leyla yang tadinya memegang pipi Leyla kini membelai lembut rambutnya, sebuah tindakan yang merupakan cara spesialnya untuk menunjukkan rasa cintanya pada suaminya.

Ada kedamaian dan ketenangan sampai putranya yang malang itu menghancurkan suasana. Istri tercintanya, yang telah berbaik hati memberikan pangkuannya sebagai bantal, harus pergi untuk menghibur bayinya yang rewel, meninggalkan selendang dingin untuk digunakannya.

Matthias perlahan membuka matanya dan menoleh untuk melihatnya, dadanya perlahan dipenuhi kekecewaan sementara segudang pikiran mulai berputar-putar di dalam kepalanya.