Indonesia VS Finlandia
Oleh: Nur Aida Nasution
Foto : Pinterest
Sistem pendidikan di Finlandia dan Indonesia menampilkan dua pendekatan yang kontras dalam mencetak generasi masa depan. Finlandia, dengan filosofi pendidikan yang humanis dan fleksibel, memberikan ruang besar bagi perkembangan individu setiap peserta didiknya. Di sisi lain, sistem pendidikan Indonesia masih menekankan pada standar nilai dan hierarki yang ketat, yang seringkali menjadi sumber tekanan bagi peserta didik.
Di Finlandia, peserta didik tidak dipaksa untuk mencapai target tertentu oleh pendidik. Sebaliknya, mereka diberi kebebasan untuk menetapkan target pembelajaran mereka sendiri, dengan bantuan orang tua. Sistem pendidikan ini memahami bahwa belajar adalah proses bertahap yang tidak dapat dipaksakan dengan target waktu pencapaian tertentu.
Akibatnya, Finlandia tidak mengenal konsep 'tinggal kelas'. Peserta didik diberikan waktu hingga 10 tahun untuk menyelesaikan pendidikan dasar (kelas 1-9) dan hingga 4 tahun untuk pendidikan menengah (kelas 10-12). Sebaliknya, di Indonesia, siswa yang gagal mencapai nilai minimum akan tinggal kelas, yang dianggap dapat merusak rasa percaya diri mereka.
Konsep peringkat juga berbeda tajam antara kedua negara. Finlandia tidak mengenal sistem rangking seperti di Indonesia, di mana siswa diurutkan berdasarkan nilai akhir semester atau tahun ajaran. Di Finlandia, yang lebih penting adalah sejauh mana siswa menguasai materi pelajaran, bukan sekadar nilai atau peringkat yang mereka dapatkan.
Sementara itu, beban belajar siswa di Indonesia jauh lebih tinggi, dengan hampir 230 hari belajar per tahun dibandingkan dengan 190 hari di Finlandia. Beban belajar yang berat ini sering menyebabkan stres dan bahkan school phobia di kalangan siswa Indonesia.
Finlandia juga menekankan pada integrasi antara teori dan praktek, terutama dalam pelajaran sains, yang mendorong kemampuan problem-solving siswa. Di sisi lain, sistem pendidikan di Indonesia masih dominan dengan metode hafalan teori dan minim praktek.
Metode pengajaran di Finlandia pun berbeda signifikan; pendidik di Finlandia berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa mencari informasi sendiri, sementara di Indonesia, metode ceramah masih sangat umum, dengan dialog interaktif yang terbatas.
Kegiatan belajar mengajar di Finlandia sangat fleksibel, memungkinkan siswa belajar di mana saja, tidak hanya di kelas. Bahkan, penjaga sekolah hingga kepala sekolah ikut terlibat dalam proses pendidikan, menciptakan suasana yang lebih nyaman dan inklusif.
Siswa Finlandia juga dilibatkan dalam aktivitas sehari-hari, seperti membantu menyiapkan makanan di dapur sekolah, yang berfungsi sebagai sarana interaksi dengan orang dewasa dan mengajarkan tanggung jawab serta keterampilan sosial.
Karena itu pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh dengan negara Finlandia. Indonesia dapat mulai menerapkan sistem yang memberi kebebasan kepada siswa untuk menetapkan target pembelajaran mereka sendiri dengan bimbingan orang tua dan guru.
Hal ini dapat membantu mengurangi tekanan dan meningkatkan rasa percaya diri siswa. Mengurangi atau menghapus sistem rangking dan fokus pada pemahaman materi pelajaran. Penilaian bisa lebih ditekankan pada kemajuan individu dan penguasaan kompetensi.
Mengembangkan kurikulum yang lebih seimbang antara teori dan praktek, terutama dalam pelajaran sains dan keterampilan hidup, untuk meningkatkan kemampuan problem-solving siswa dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih fleksibel di mana siswa bisa belajar di berbagai tempat, tidak hanya terbatas di kelas. Memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran di luar kelas.
Dengan mengadopsi beberapa praktik terbaik dari Finlandia dan menyesuaikannya dengan konteks lokal, Indonesia dapat memperbaiki sistem pendidikannya dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih humanis dan mendukung perkembangan individu setiap peserta didik.