Suara Mahasiswa Gizi terhadap Rencana Pendidikan Profesi Nutrisionis
Suara mahasiswa gizi terhadap rencana pendidikan profesi nutrisionis di Indonesia menggambarkan berbagai sudut pandang yang kaya akan pertimbangan mendalam. Sebagai calon tenaga gizi yang kelak menjadi ujung tombak pelayanan dan edukasi masyarakat, mahasiswa gizi menyampaikan kritik dan harapan mereka secara lugas serta penuh kesadaran akan realitas di lapangan. Mereka membedakan jelas peran profesi nutrisionis dan dietisien. Namun, juga mempertanyakan urgensi pembentukan dua jalur profesi yang memiliki bidang kerja yang hampir bersinggungan tersebut.
Menurut persepsi mahasiswa, nutrisionis adalah tenaga gizi lulusan program sarjana gizi atau terapan yang berfokus pada bidang promosi kesehatan, konsultasi gaya hidup, dan edukasi masyarakat. Nutrisionis belum bisa menjalankan pelayanan gizi mandiri secara klinis karena belum mengikuti pendidikan profesi dan uji kompetensi untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR). Kelak, jika program pendidikan profesi nutrisionis berjalan, lulusan akan memiliki legalitas sebagai tenaga kesehatan namun dengan fokus lebih pada pencegahan dan pelayanan berbasis komunitas pada individu sehat. Di sisi lain, dietisien adalah tenaga kesehatan profesional yang telah menyelesaikan pendidikan profesi, magang klinis intensif, dan lulus uji kompetensi, sehingga memenuhi syarat administratif dan legal untuk memberikan pelayanan gizi secara mandiri untuk individu sakit, terutama di rumah sakit atau klinik. Dietisien diyakini menguasai bidang klinis dan juga memiliki pengetahuan tentang gizi masyarakat, sehingga cakupan tugasnya lebih luas dibandingkan nutrisionis.
Mahasiswa menilai cakupan ilmu dan tugas dietisien sudah meliputi peran nutrisionis, sehingga memberikan ruang diskusi tentang apakah perlu ada pendidikan profesi baru yang terpisah. Beberapa berpendapat bahwa menambah jalur profesi nutrisionis bisa meningkatkan kualitas lulusan dengan pembekalan keahlian yang lebih spesifik, khususnya untuk program di masyarakat dan edukasi kesehatan pada individu sehat. Namun, keluhan juga muncul terkait beban tambahan dari segi biaya yang harus dikeluarkan mahasiswa, waktu tempuh studi yang bertambah, hingga keraguan terhadap kesiapan universitas menyelenggarakan program tersebut dengan sarana dan tenaga pengajar yang mumpuni.
Selain itu, salah satu kekhawatiran terbesar mahasiswa adalah potensi tumpang tindih peran antara profesi nutrisionis dan dietisien yang belum diatur secara jelas oleh regulasi pemerintah. Jalur profesi yang baru ini berpotensi menimbulkan kebingungan di dunia kerja dan menimbulkan kompetensi internal yang tidak sehat. Akses pendidikan profesi yang belum merata juga membuat mahasiswa di daerah terpencil sulit mengakses program ini, dengan potensi market kerja yang belum siap menampung lulusan profesi nutrisionis. Beban biaya yang meningkat tidak hanya menyulitkan mahasiswa dari keluarga kurang mampu, tetapi juga berisiko membuat masa studi calon tenaga gizi menjadi lebih lama. Dampaknya, lulusan S1 yang tidak melanjutkan profesi bisa kesulitan bersaing dengan yang sudah bersertifikat, sehingga meningkatkan risiko pengangguran di kalangan tenaga gizi. Ketidakjelasan pembagian peran ini juga berpotensi menurunkan minat siswa SMA untuk memilih jurusan gizi karena kebingungan akan peluang karir dan jalur pendidikan yang harus ditempuh.
Mahasiswa secara umum sepakat bahwa sebelum merancang dan melaksanakan pendidikan profesi nutrisionis, pemerintah dan perguruan tinggi sebaiknya dapat lebih fokus memperkuat dan memeratakan pendidikan serta staf pengajar profesi dietisien yang sudah ada. Mereka berharap agar program dietisien dapat diperluas ke lebih banyak perguruan tinggi negeri hingga jangkauan layanan tenaga dietisien menjadi merata ke seluruh Indonesia. Hal yang yang mahasiswa inginkan adalah aturan yang jelas, tegas, dan merata mengenai batas kompetensi dan tugas antara nutrisionis dan dietisien sehingga masing-masing profesi memiliki ruang kerja yang terdefinisi dengan baik dan tidak saling tumpang tindih. Pemerintah perlu memastikan akses pendidikan profesi bisa dijangkau oleh mahasiswa dari berbagai wilayah dan latar belakang sosial ekonomi dengan memaksimalkan fasilitas kampus dan pelatihan praktik yang memadai.
Mereka juga mengingatkan perlunya sosialisasi yang intensif mengenai manfaat dan perbedaan profesi ini kepada mahasiswa, institusi pendidikan dan stakeholder di dunia kerja agar keputusan memilih jalur pendidikan profesional dapat dilakukan dengan informasi yang jelas dan komprehensif. Kolaborasi erat antara pemerintah, institusi pendidikan, dan industri merupakan kunci agar pengembangan profesi nutrisionis dan dietisien berjalan selaras, teratur, dan efektif. Mahasiswa gizi menanggapi wacana pendidikan profesi nutrisionis dengan sikap kritis namun penuh harapan. Mereka menginginkan pengembangan profesi gizi yang berorientasi pada kualitas dan pemerataan tanpa menimbulkan beban tambahan yang memberatkan atau ketidakpastian di dunia kerja. Rencana ini harus dirancang dengan matang, memperhatikan konteks dan kebutuhan nyata di lapangan agar tenaga kesehatan gizi di masa depan dapat bersaing secara profesional dan berkontribusi optimal untuk kesehatan masyarakat Indonesia.
Sumber:
Alfiana, R., Aji, A. S., Samutri, E., Paratmanitya, Y., Hafizhah, R. D., Zulfa, I. F., ... & Surendran, S. (2023). Peran Ahli Gizi Dalam Memberikan Pelayanan Gizi Berbasis Gen di Indonesia. Amerta Nutrition, 7(2SP), 276-282.
Argawati, U. (2024). Diskresi Ahli Gizi untuk Memperoleh STR dan Keberadaan Pengobat Tradisional. Diakses pada 4 November 2025, dari https://share.google/2vunNMDmJws2cBQTm
Asosiasi Institusi Profesi Gizi Indonesia. (2024). Naskah Akademik Pendidikan Profesi Nutrisi. Diakses pada 4 November 2025, dari https://aipgi.org/home/wp-content/uploads/2024/11/061124_Naskah-Akademik-Pendidikan-Profesi-Nutrisio_241108_164334.pdf
Halodoc. (2025). Catat, Ini Beda Dietisien dan Nutrisionis. Diakses pada 4 November 2025, dari https://share.google/CIafk9CncrFNcuC9l
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/342/2020 Tentang Standar Profesi Nutrisionis. Diakses pada 4 November 2025 https://repositori-ditjen-nakes.kemkes.go.id/302/2/Buku%20digital%20Standar%20Profesi%20Nutrisionis.pdf?