Lentog Tanjung merupakan kuliner khas Desa Tanjungkarang, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di balik kuliner ini, terdapat tradisi lisan (folklor) yang berkembang di masyarakat. Diperlukan upaya penguatan memori kolektif terutama bagi generasi muda melalui digitalisasi warisan budaya takbenda (situs web, video, dan komik digital). Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini didanai oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Negeri Semarang.
Taman Lentog Tanjung di Jl. Kudus-Purwodadi Desa Tanjungkarang Kec. Jati, tempat kelahiran kuliner Lentog Tanjung.
Monumen Pikulan Penjual Lentog, ikon Taman Lentog Tanjung yang merepresentasikan kuliner Lentog Tanjung sebagai kuliner khas Kota Kudus.
Sentra Lentog Kudus sebagai bagian promosi dan upaya menjaga eksistensi Lentog Tanjung.
Monumen Lentog Tanjung, sebuah upaya pengenalan Lentog Tanjung kepada wisatawan domestik maupun mancanegara yang singgah di Kota Kretek.
Tentang Lentog Tanjung
Lentog Tanjung merupakan kuliner khas Kota Kudus, khususnya Desa Tanjungkarang Kec. Jati yang dihidangkan di atas daun pisang. Makanan yang cocok disantap untuk sarapan ini berisikan lontong besar yang diiris tipis-tipis bersama sayur kuah nangka dengan perpaduan sate usus, sate telur puyuh, bakwan, atau kerupuk sebagai pendamping.
Filosofi Lentog Tanjung
Makanan khas Kota Santri ini menyimpan cerita perjalanan panjang. "Lentog" menjadi nama lain dari Lontong bagi masyarakat Kudus, sementara "Tanjung" merupakan daerah makanan ini berasal, yakni Desa Tanjungkarang Kec. Jati - Kab. Kudus. Keberadaan makanan ini tidak lepas dari kepercayaan masyarakat Tanjungkarang atas larangan menjual nasi. Sehingga memunculkan ide mengubah nasi dengan lontong.
Sejarah Lentog Tanjung
Menurut cerita lisan masyarakat Tanjungkarang, makanan ini mulai muncul seiring dengan masa penyebaran Islam. Konon Sang Wali dan para santrinya mencoba membangun masjid sebagai sarana dakwah. Pembangunan masjid yang dilaksanakan di malam hari guna menghindari penggagalan oleh pihak kerajaan itu terhenti lantaran suara "tog-tog-tog" yang dianggap para santri sebagai bunyi bedug. Mereka pun pergi meninggalkan pekerjaan untuk menunaikan Salat Subuh. Namun ternyata suara tersebut bukanlah suara bedug melainkan bersumber dari saringan kelapa milik penjual nasi. Mengetahui bukan suara bedug, Sang Wali menyampaikan bahwa penjualan nasi dapat mengganggu pembangunan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Wali, masyarakat desa kemudian melarang penjualan nasi. Sebagai gantinya, mereka menyiasatinya dengan lontong.
Cerita berbeda disampaikan oleh Bapak Syamsuddin (juru kunci petilasan Mbah Kulah atau Mbah Sukesi) dan beberapa warga Tanjungkarang. Menurutnya Sunan Kudus telah mengutus Mbah Sukesi selaku santrinya untuk membangun masjid di wilayah Kudus bagian selatan. Pembangunan masjid yang direncanakan akan selesai dalam waktu satu malam itu terpaksa gagal lantaran diketahui oleh seorang ibu yang sedang membersihkan beras dari debu di saat yang bersamaan. Mbah Sukesi lantas berkata kepada warga Tanjungkarang bahwa suatu saat penjual nasi akan tidak laku dan penjual bubur-lah yang laku. Dari perkataan Mbah Sukesi inilah, warga Tanjungkarang yang tadinya berjualan nasi, kemudian beralih menjadi menjual lontong atau Lentog.
Kedua versi cerita tersebut sejatinya memberi satu kesimpulan kuat, bahwasanya asal-usul kuliner Lentog Tanjung adalah berasal dari gagalnya pembangunan masjid oleh seorang penjual nasi. Sehingga bunyi "tog-tog-tog" diankronimkan sebagai Lentog.
Eksistensi Lentog Tanjung
Lentog Tanjung yang awalnya hanya tersebar di wilayah Desa Tanjungkarang Kec. Jati kini telah tersebar di daerah-daerah lain di Kudus. Makanan tradisional ini, kini mudah dijumpai di sudut-sudut kota. Bahkan telah didirikan Sentra Lentog Kudus yang berisikan para penjual lentog tanjung di Jl. Raya Kudus-Purwodadi. Penikmatnya pun tidak hanya masyarakat lokal, wisatawan dan pengunjung luar yang singgah di Kudus senantiasa menyantap lentog tanjung sebagai santapan wajib saat berkunjung ke Kudus. Sebagai makanan tradisional yang menghadirkan memori kolektif masyarakat atas nilai sejarahnya, Lentog Tanjung telah dikenal sebagai salah satu "kekayaan tak benda" sekaligus warisan kuliner tradisional khas kota santri ini. Monumen pikulan penjual lentog pun didirikan sebagai salah satu wujud promosi dan eksistensi lentog kepada generasi Kudus mendatang.
Monumen Pikulan Penjual Lentog Tanjung
Monumen yang berada di Taman Lentog Tanjung (Desa Tanjungkarang, Kec. Jati, Kudus) ini merupakan bentuk simbolis atas lahirnya kuliner khas Lentog Tanjung di Desa Tanjungkarang Menampilkan pikulan penjual Lentog, monumen ini menjadi upaya sekaligus bentuk promosi kuliner serta pengingat kolektif kelahiran Lentog Tanjung kepada masyarakat lokal maupun luar Kudus. Monumen juga merepresentasikan nilai-nilai, kebanggaan, dan warisan budaya (khususnya kuliner) bagi masyarakat Tanjungkarang itu sendiri sebagai "pencipta" kuliner Lentog Tanjung.
Masjid Jami' Al-Karim
Masjid Jami' Al-Karim berada di Gr. Tanjunggemuk Desa Tanjungkarang. Menurut beberapa sumber lisan masyarakat setempat, keberadaan Masjid Jami' Al-Karim berkaitan dengan penamaan "tanjung" di wilayah ini. Disebutkan bahwa nama "tanjung" diambil dari pohon tanjung yang tumbuh di sekitaran masjid Jami' Al-Karim (sekarang) yang tumbuh hingga wilayah Tanjungkali (Demak). Masjid ini mengalami beberapa renovasi perbaikan sebelum menjadi saat ini. Arsitektur masjid yang terdiri dari dua lantai, lengkap dengan sarana-prasarana ibadah umat Islam, yang juga sebagai masjid terbesar di wilayah Tanjungkarang ini menjadikannya salah satu pusat kegiatan Islami bagi 70% penduduk Desa Tanjungkarang. Posisi masjid yang dikelilingi sentra produksi dan area jual Lentog Tanjung memberikan tafsir atas definisi Kabupaten Kudus sebagai Kota Santri dan pemilik Lentog Tanjung.
Pesona Sejarah dan Tradisi dalam Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus atau Masjid Al-Aqsa Manarat Qudus tidak hanya sebatas sarana ibadah umat Islam, masjid ini mewakili nilai sejarah perjalanan Islamisasi dan bersamaan dengan itu melahirkan tradisi-tradisi di Kudus. Masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada 1549 M / 956 H ini berada di Desa Kauman - Kudus. Sebagai simbol akulturasi perjalanan Islam di Nusantara, desain masjid ini menampilkan konsep dakwah dengan pendekatan fabian (menyesuaikan diri). Keberadaan menara mirip candi Hindu-Budha yang dibagi ke dalam tiga bagian (kaki, badan, dan puncak), arca di atas padasan, atap tajug, dan penggunaan ornamen-ornamen Hindu-Buddha menandai upaya pribumisasi penyebaran Islam di Kudus. Tidak hanya dalam bentuk bangunan simbolis, Sunan Kudus juga menyesuaikan budaya Islam dengan tradisi dan budaya lokal yang lebih dulu ada, misalnya saja larangan menyembelih sapi dan tradisi-tradisi lainnya.
Kudus masa kini telah tumbuh dan berkembang dari perjalanan historis yang menghasilkan keberagaman yang dibingkai figura persatuan. Pesona sejarah dan tradisi bentuk akulturasi dalam Masjid Menara Kudus dapat dinikmati keindahan dan diambil pelajaran pentingnya, dan becak menjadi sarana penghubung bagi mereka yang datang baik lingkup lokal maupun mancanegara dalam menjelajahi keunikan tersebut.
Kudus: Simfoni Keberagamanan dalam Tradisi dan Rasa
Kudus adalah kota yang menawarkan simfoni keberagaman melalui perpaduan harmoni antara tradisi dan kuliner. Masjid Menara Kudus, dengan arsitektur yang menggabungkan elemen Hindu-Buddha, mencerminkan toleransi dan akulturasi budaya yang unik. Di kota ini, larangan menyembelih sapi oleh Sunan Kudus menunjukkan penghormatan terhadap tradisi lokal yang lebih dulu ada. Kuliner khas seperti Soto Kudus dan Lentog Tanjung menggambarkan kekayaan rasa yang lahir dari sejarah panjang dan interaksi budaya. Kudus adalah bukti nyata bahwa keragaman tradisi dan rasa dapat hidup berdampingan dengan harmonis, menciptakan identitas yang kaya dan penuh makna.
Klenteng Hok Tik Bio, klenteng yang didirikan pada 1741 di Desa Tanjungkarang oleh pelarian orang Tionghoa dari Batavia atas peristiwa Geger Pecinan. Nama "Hok Tik Bio" diambil dari salah satu arca yang dibawa, yakni arca Hok Tik Tjien Sien.
Interaksi Budaya Tionghoa, dalam perkembangannya tradisi kuliner seperti Lentog Tanjung mungkin dipengaruhi oleh interaksi antara komunitas Tionghoa. Pengaruh ini bisa terlihat dalam variasi bumbu dan penyajian makanan yang mencerminkan perpaduan budaya. Bahkan orang awam menyebut Lentog Tanjung dengan "Lontong Cap Go Meh" atas bentuknya yang mirip.
Simbol Keberagaman dan Harmoni, di Tanjungkarang klenteng menjadi simbol keberagaman agama dan budaya. Keberadaannya yang berdampingan dengan tradisi kuliner seperti Lentog Tanjung menunjukkan adanya harmoni antara berbagai komunitas agama dan budaya di daerah tersebut.
Klenteng dan Kontribusi Keragaman Budaya, klenteng di Tanjungkarang tidak hanya memiliki makna religius bagi komunitas Tionghoa, tetapi juga berkontribusi pada keberagaman budaya dan kuliner yang ada di Kudus, memperkaya pengalaman Lentog Tanjung sebagai bagian dari warisan lokal yang kaya dan harmonis.