Rilisan Pers
Situasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang dialami oleh perempuan termasuk perempuan pekerja informal disabilitas, juga telah mempengaruhi peran dan posisinya dalam keluarga, lingkungan komunitas hingga negara. Perempuan seringkali mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Mereka juga seringkali dikucilkan, mendapatkan penghinaan, didiskriminasi dan dilabeli negatif oleh keluarga dan lingkungannya karena kemiskinan.
Foto: Para pembicara dalam konferensi pers "Melihat Uang Pajak Negara Disalahgunakan: Perempuan Menuntut Keadilan Pajak"
Negara tidak adil terhadap rakyat miskin dan perempuan dalam menjalankan politik perpajakan, dan di lain pihak membuka peluang terjadinya penyalahgunaan uang pajak yang berasal dari keringat rakyat untuk kepentingan pribadi.
Di tengah keprihatinan ini, perempuan menuntut keadilan pajak.
Suara Perempuan Adat Harusnya Ada dalam Semua Negosiasi W20 G20
Parapat (21/7) - Women 20 atau yang lebih dikenal sebagai W20 tengah melakukan sebuah pertemuan puncak pada 19-21 Juli 2022 di Parapat, Sumatera Utara. W20 Summit ini menyerahkan komunike atau pernyataan bersama kepada G20, di mana Indonesia menjadi presidensi tahun 2022 ini.
Di luar W20 Summit, pada 20 Juli, para perempuan adat Toba dan sejumlah aktivis membentangkan spanduk raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi” di danau Toba dan sejumlah poster aksi di atas kapal yang merupakan bentuk ekspresi keresahan atas pembahasan dalam pertemuan W20 yang tidak menyentuh persoalan ketidakadilan ekonomi yang dialami perempuan Indonesia, terutama perempuan adat. Pertemuan ini sesungguhnya digelar hanya untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang lebih menguntungkan elit ekonomi dan politik tingkat negara, korporasi dan lembaga keuangan internasional, dan bukan membahas kepentingan rakyat sesungguhnya.
“Saya mengharapkan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar tidak memberikan izin kepada PT Dairi Prima Mineral karena pusat pertambangan rawan bencana dan gempa,” kata salah seorang perempuan yang tanahnya telah dirampas oleh perusahaan tersebut.
“Program food estate seharusnya mensejahterakan petani. Tapi kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Dalam pengembangan food estate, antara desa Siria-ria dan desa tetangga terjadi konflik horizontal,” sebut perempuan asal Desa Siria-ria.
Seorang ibu, yang wilayah hidupnya masuk konsesi TPL, dengan tegas mengatakan, “Kami menolak PT. Toba Pulp Lestari di wilayah adat kami. Tutup TPL!”
‘Recover together, recover stronger’ atau ‘Pulih bersama, pulih lebih kuat’ merupakan jargon G20 presidensi Indonesia. Namun W20 tidak cukup inklusif untuk memenuhi jargon tersebut.
Anggota dan peserta W20 merupakan penunjukan para pemerintah, tanpa ada proses pemilihan sendiri representasi yang terlibat; isu yang dibahas pun lebih menekankan pada akses perempuan ke modal. Seharusnya ‘pulih bersama’ mencakup juga perempuan adat dan pedesaan di wilayah pedalaman dan pesisir, yang tidak bekerja di sektor formal dan informal saja tetapi hidup dari sumber daya alam di sekitarnya. W20 Summit mendatangkan para entrepreneur perempuan dari berbagai daerah, tapi tidak mengundang bicara perempuan adat dari sekitar Danau Toba yang sedang dilanda konflik tanah dengan para korporasi.
“Persoalan yang dialami perempuan adat Sumatera Utara, salah satunya adalah perampasan tanah untuk kepentingan korporasi, termasuk oleh PT. Toba Pulp Lestari (TPL)”, jelas Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) saat melakukan intervensi pada pertemuan W20, pada 19 Juli 2021 di Parapat.
Intervensi Delima menekankan pentingnya pandangan berbeda terhadap persoalan perempuan yang dibahas W20/G20, yang lebih menekankan pada aspek akses dan modal, tetapi mengabaikan bahwa tanah dan sumber-sumber kehidupan perempuan telah direbut oleh kepentingan korporasi. Perampasan itulah yang sebenarnya menimbulkan kemiskinan struktural dan proses pemiskinan yang makin meningkatkan ketidakadilan gender.
Delima melanjutkan, “Perempuan tani dan perempuan adat menjadi korban yang paling menderita akibat pembangunan eksploitatif yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan devisa negara. Oleh karena itu, perempuan-perempuan itu harus bergerak memperjuangkan hak-haknya juga. Selama ini, suara-suara mereka sering dibungkam, dipaksa kalah karena tidak pernah diberi ruang oleh para pemegang kebijakan. Delegasi dan peserta W20 seharusnya secara sungguh-sungguh memperjuangkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di semua lini.
Para perempuan Toba itu, bersuara, mewakili perempuan pedesaan dan perempuan adat di seluruh wilayah Indonesia lainnya, yang telah lama mengalami penindasan struktural akibat ketimpangan ekonomi atas nama pembangunan eksploitatif yang mengabaikan pengetahuan dan pengalaman perempuan, serta keberlanjutan kehidupan perempuan dan lingkungan.
"Kebutuhan dan kepentingan perempuan adat dan perempuan pedesaan harus dipertimbangkan dalam setiap kebijakan dan tindakan yang dinegosiasikan G20. Justru mereka lah yang bisa memberikan pandangan mengenai ketidakadilan ekonomi yang dihadapi oleh perempuan akibat kerakusan korporasi yang merampas sumber-sumber kehidupan mereka," tegas Direktur Aksi! for gender, social and ecological justice, Titi Soentoro.
Titi melanjutkan, "Negara-negara G20 harus didorong untuk menghapus undang-undang di negara anggotanya yang membatasi partisipasi perempuan secara bermakna, khususnya perempuan adat dan pedesaan, dalam pengambilan keputusan mengenai kebijakan dan kegiatan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka".
Perayaan Hari Kartini: Keadilan Gender dan Ekonomi untuk Perempuan, Perempuan Tolak Diskriminasi dan Kemiskinan
Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (PW Fatayat NU) dan Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) bekerjasama dengan Aksi! for gender, social and ecological justice menyelenggarakan kegiatan Konsultasi Perempuan dengan tema Menghadapi Ketimpangan Ekonomi dan Menguatkan Suara Komunitas pada Kamis, (18/11/2021) lalu di Ambon.
Konsultasi ini dihadiri oleh perempuan dari berbagai latar belakang yang berasal dari beberapa wilayah di Maluku, yakni kota Ambon, Leitimur, Seram Bagian Barat, dan Maluku Tengah. Peserta terdiri dari perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan papalele, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, perempuan pendamping korban, perempuan disabilitas, dan perempuan penyintas bencana.
Keberpihakan negara terhadap perempuan dirasa sangat kurang, khususnya bagi perempuan miskin. Perempuan hingga hari ini terus mengalami ketidakadilan, mulai dari kehidupan pribadi, rumah tangga, sosial, hingga bernegara. Perempuan mengalami beban ganda, suara perempuan masih dianggap tidak penting, kurangnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, bahkan jaminan yang dibutuhkan seperti kesehatan, pendidikan, hingga subsidi pemerintah masih sulit diakses oleh perempuan.
Berdasarkan konsultasi perempuan yang dilakukan, diperoleh informasi tentang pengalaman peserta yang meliputi kehidupan pribadi, rumah tangga, hubungan sosial, dan bernegara, yaitu perempuan masih mengalami diskriminasi, kekerasan, dan ketidakadilan dalam setiap lini kehidupannya.
Perempuan di Maluku masih mengalami ketimpangan dan ketidakadilan yang berlapis. Berbagai identitas yang dimiliki seorang perempuan turut menentukan banyaknya lapisan tersebut, dan ketimpangan gender akibat norma patriarki telah menempatkan perempuan di dalam posisi tidak adil. Pengambilan keputusan di dalam keluarga, masyarakat, hingga negara, seringkali mengabaikan kepentingan dan kehendak perempuan. Bagi perempuan miskin, seperti buruh tani, buruh migran, nelayan, masyarakat adat, ataupun miskin kota, lapisan ketidakadilan tersebut bertambah dengan tidak adanya akses dan kontrol terhadap sumber kehidupan. Situasi pandemi Covid-19 hingga bencana iklim yang terjadi, semakin membuat parah ketimpangan dan ketidakadilan yang sudah mereka alami.
Kemiskinan dan ketimpangan gender dan ekonomi yang dialami oleh perempuan di Maluku disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; kurangnya akses ke program bantuan pemerintah; akses ke pelayanan administrasi negara; dan akses ke sumber daya alam.
“Selain kesulitaan mendapatkan program pemerintah seperti PKH, BLT, dll, mereka juga kesulitan mengakses program sertifikasi tanah (Prona). Sementara untuk mengurus sertfikat secara mandiri biayanya mahal dan mereka tidak memiliki biaya. Perempuan sebagai kepala keluarga tunggal juga tidak mudah mendapatkan akses bantuan yang selama ini diberikan ke kepala keluarga laki-laki/suami. Mereka harus mengurus adminsitrasi terlebih dahulu sebagai kepala keluarga.” ujar Hilda Rolobessy dari Pengurus Wilayah Fatayat NU Maluku.
Beberapa contoh kemiskinan perempuan di Maluku juga disebabkan karena akses ke sumber daya alam yang semakin sulit.
“Masyarakat yang dulunya mendapat penghasilan dari alam menjadi hilang karena berbagai program/proyek dan kebijakan pemerintah. Saat ini untuk mencari ikan ke laut dengan jenis ikan laut dalam, nelayan harus mendapatkan ijin dari pemerintah yang dulunya tidak perlu dilakukan, karenanya beberapa nelayan memindahkan usaha budidaya ikan ke darat.” ungkap Marhaini Nasution dari Aksi! untuk keadilan gender, sosial dan ekologi.
Jumlah penduduk miskin ekstrem di Maluku mencapai 97.747 jiwa dengan total jumlah rumah tangga miskin ekstrem 22.110 rumah tangga. Jumlah tersebut terdiri dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan tingkat kemiskinan ekstrem 18,76% dan jumlah penduduk miskin ekstrem 21.270 jiwa; Kabupaten Maluku Tenggara dengan tingkat kemiskinan ekstrem 13,65 % dan jumlah penduduk miskin ekstrem 13.660 jiwa; Kabupaten Maluku Tengah dengan tingkat kemiskinan ekstrem 10.53% dan penduduk miskin ekstrem 39.400 jiwa; Kabupaten Seram Bagian Timur dengan tingkat kemiskinan ekstrem 12,73% dan jumlah penduduk miskin ekstrem 14.750 jiwa; serta Kabupaten Maluku Barat Daya dengan tingkat kemiskinan ekstrem 14,43 persen dan jumlah penduduk miskin ekstrem 10.580 jiwa.
“Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh LAPPAN pada 2021 mencapai 198 kasus yang meliputi Kota Ambon, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Barat. Pada 2022, sejauh ini terdapat 42 kasus yang terdiri dari kasus terbanyak KDRT dan kekerasan seksual; pemerkosaan, pencabulan, dan percobaan pemerkosaan. Kasus-kasus kekerasan akibat konflik agama dan transmigrasi juga masih terjadi yang menyebabkan semakin dalamnya tingkat keparahan kemiskinan perempuan” ungkap Bai Tualeka Direktur Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPAN).
Berdasarkan hasil tersebut kami menyerukan enam tuntutan yakni:
1. Menuntut pemerintah untuk menyediakan permodalan bagi UMKM perempuan
2. Perlindungan dan pemulihan yang komprehensif bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Maluku
3. Memperbaiki data administrasi penduduk (adminduk) untuk memperbarui data kemiskinan karena kebanyakan perempuan yang tidak memiliki data adminduk tidak dapat mengakses bantuan sosial
4. Memfasilitasi kelompok-kelompok sektor informal, papalele, nelayan, petani, industri rumahan, dalam peningkatan kapasitas dan pemasaran hasil-hasil produksi
5. Mengedukasi masyarakat tentang pengarusutamaan gender dalam berbagai sektor untuk mengurangi dampak diskriminasi, baik di ruang privat maupun publik
6. Meningkatkan kapasitas dan mendorong partisipasi perempuan dalam segala kehidupan
Narahubung:
Bai Tualeka: 081289340778
Iftin Yuninda: 082248210443
Kinanti Munggareni: 085715878394
Hari Kartini 2022: Perekonomian Perempuan Bali Masih Terjepit dalam Himpitan Pandemi COVID-19
Denpasar (21/4) - Selama pandemi COVID-19 melanda hampir seluruh negara di dunia, perekonomian pun ikut terpuruk, tak terkecuali sektor pariwisata. Pulau Bali sebagai destinasi wisata utama wisatawan mancanegara, sangat merasakan keterpurukan ekonomi tersebut.
Pandemi COVID-19 mengakibatkan turunnya tingkat kunjungan wisatawan ke Bali yang tentunya berpengaruh pula pada pendapatan masyarakat, terutama para pekerja pariwisata. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, bahkan Bali pernah berada dalam posisi nol kunjungan wisatawan asing. Kondisi tersebut membuat para pekerja pariwisata yang jumlahnya sangat dominan, harus berjuang dan mencari cara untuk tetap bertahan dan memenuhi kelangsungan hidup keluarga.
Hal serupa juga dirasakan perempuan Bali. Dalam kondisi yang sangat sulit ini, mereka harus ikut berjuang dan turut memikirkan perekonomian keluarga. Perempuan Bali menjalankan peran gandanya, selain memenuhi kewajiban domestik, juga mencari jalan untuk menambah pendapatan keluarga, baik dengan berjualan makanan, membuat kerajinan, bahkan mencoba hal-hal baru di luar kebiasaannya.
“Keterlibatan perempuan dalam perekonomian keluarga diyakini akan memberikan solusi dalam persoalan keuangan keluarga tersebut,” ujar Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (WCC) Ni Nengah Budawati.
Belum selesai berjibaku dengan tantangan pandemi COVID-19, belum juga perekonomian sepenuhnya membaik, perempuan Bali harus menghadapi persoalan lainnya. Harga bahan pokok mulai mengalami kenaikan yang tentunya sangat menyulitkan dan merugikan ibu rumah tangga. Mereka semakin terjepit tanpa solusi yang jelas dari pemerintah. Harga bahan baku terus naik, tapi berbagai kebutuhan tetap harus dipenuhi secara berkelanjutan.
“Dengan meningkatnya harga kebutuhan bahan pokok seperti minyak goreng yang saat ini meningkat 2 kali lipat dan semakin langka akan membuat sulit ekonomi masyarakat miskin khususnya perempuan yang sebagian besar bekerja di sektor informal seperti pedagang makanan yang hidup dari hasil berjualan” tutur Budawati.
Pemerintah sebagai pengambil keputusan diharapkan segera mengambil langkah-langkah atau solusi agar ketimpangan harga kebutuhan sehari-hari bisa diatasi secepat mungkin. Kenaikan harga bahan pokok tentunya akan berdampak pada ketimpangan mengakses pemenuhan kebutuhan bahan pokok, dan membuat posisi perempuan semakin rentan.
“Masa pandemi yang terjadi hampir dua tahun lamanya, sangat mempengaruhi perekonomian keluarga, sehingga menyebabkan munculnya persoalan rumah tangga semakin meningkat. Perceraian juga cenderung meningkat, di mana salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi. Ini adalah dampak dari mulai menurunnya pendapatan ekonomi keluarga, banyak pekerja dari sektor pariwisata mengalami pemutusan kerja. Bahkan pelaku perceraian saat ini adalah dari pekerja yang ke luar negeri. Namun persoalan rumah tangga ini bisa diatasi jika sama-sama memahami situasi saat pandemik dan bersama-sama mencari solusi,” jelas Budawati.
Menimbang berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi perempuan di Bali, momen G20 yang nantinya akan digelar di Nusa Dua pada November 2022 mendatang, diharapkan bisa mendorong pemerintah untuk tegas menentukan kebijakan yang lebih mendukung posisi perekonomian perempuan.
”Ketidakadilan ekonomi yang terus berlanjut pada perempuan disebabkan karena sistem patriarki di dalam masyarakat. Sistem ini diperkuat oleh kebijakan negara yang tidak berpihak pada perempuan. Berbagai program yang ada justru tidak melibatkan perempuan yang berdampak pada pemiskinan perempuan. Pada pertemuan G20 nanti diharapkan suara-suara perempuan didengar untuk diadopsi menjadi sebuah keputusan,” ungkap Marhaini Nasution dari Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi.
Selain itu momen G20 juga menjadi ajang advokasi terkait situasi ketidakadilan yang dihadapi perempuan, khususnya di Bali dan umumnya di seluruh Indonesia. LBH WCC dan Aksi! for gender, social and ecological justice berharap dengan kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dan ekonomi perempuan, akan berdampak pula pada menurunnya tingkat kekerasan dan ketidakadilan yang dihadapi perempuan.
Narahubung:
Ni Nengah Budawati 0881038776371
Kinanti Munggareni 085715878394
Women's Day 2022: “Perempuan Indonesia menuntut Keadilan Gender & Keadilan Ekonomi”
Bali, 8 Maret 2022 - Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, sebanyak 45 perempuan dari berbagai latar belakang di 10 wilayah/daerah di Indonesia yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Jakarta, Purwokerto-Jawa Tengah, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua, melakukan Konsultasi Nasional untuk merumuskan agenda desakan perempuan atas situasi ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi yang dialami 320 perempuan dari perempuan petani, perempuan nelayan/pesisir, perempuan adat, perempuan miskin kota, perempuan pekerja informal, transpuan, perempuan disabilitas, perempuan penyintas bencana dan perempuan marginal lainnya.
Sampai hari ini, pengabaian hak-hak perempuan, terutama bagi perempuan miskin, terus dilakukan oleh negara dan non negara. Perempuan masih diabaikan hak atas pendidikan yang layak bagi perempuan miskin, jaminan perlindungan kesehatan perempuan dan kesehatan reproduksi perempuan, akses ekonomi dan pengakuan kerja perempuan, terutama perempuan pekerja rumahan dan pekerja informal lainnya, dan pengabaian hak perempuan atas lingkungan yang sehat dan baik, dan perlindungan akses perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Pengabaian hak perempuan juga terlihat dengan masih terjadinya diskriminasi perempuan dalam rapat pengambilan keputusan di semua level, sehingga hak perempuan untuk berpendapat berdasarkan pengalaman menjadi terabaikan. Begitupun, pengabaian pada hak perempuan korban kekerasan seksual dan hak perempuan penyintas bencana. Negara sampai hari ini belum memiliki hukum yang menjamin perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual, justru diskriminasi sering dialami perempuan korban kekerasan seksual.
“Fasilitas rumah aman dan penguatan ekonomi bagi perempuan korban kekerasan seksual atau KDRT juga belum menjadi agenda utama Negara dalam menjamin perlindungan perempuan korban” Ibu Ketut – Forum Puspa BALI
Perempuan dari berbagai latar belakang dan sektor mengungkapkan bahwa negara masih melakukan pembiaran dan bahkan menjadi pelaku atas ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan. Ini terlihat pada fakta-fakta terjadinya diskriminasi akses administrasi kependudukan bagi perempuan miskin, tidak dilibatkan secara penuh dalam pengambilan keputusan dan persetujuan perempuan berkaitan kebijakan dan proyek/program pembangunan yang merusak lingkungan, menggusur, merampas tanah dan sumber kehidupan dan penghidupan perempuan. Misalnya proyek reklamasi, privatisasi pulau-pulau kecil, proyek perkebunan sawit dan tebu skala besar, proyek pulp dan paper, proyek food estate, proyek tambang semen, yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan atas lingkungan sumber daya alamnya.
Situasi ini diperparah dengan kondisi perubahan iklim. Bencana iklim, seperti banjir, banjir rob, abrasi, siklon seroja, kekeringan, dan lainnya, semakin menambah beban perempuan dalam bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan komunitasnya. Sayangnya, pemerintah merespon perubahan iklim dengan proyek-proyek mitigasi yang tidak memperhatikan hak asasi manusia, lingkungan dan kondisi sosial yang dihadapi perempuan. Pun kebijakan pemerintah dalam merespon perubahan iklim belum responsive gender, baik kebijakan mitigasi maupun adaptasi. Misalnya proyek PLTA, pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang mencemari air, menghilangkan sumber mata pencaharian/ekonomi perempuan, dan sumber pangan, telah menambah rantai pemiskinan perempuan. Sementara, inisiatif perempuan dalam mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim belum diakui oleh pemerintah.
Pandemic COVID 19 yang terjadi sejak 2020, semakin memperburuk situasi ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal (nelayan, pedagang kaki lima, petani, usaha rumahan, dan lainnya). Perempuan terus berupaya mengembangkan inisiatif usaha ekonomi untuk bertahan di masa pandemic. “Masa pandemic sangat sulit bagi kami pekerja informal. Pendapatan menurun, tapi subsidi pemerintah pun kami tidak dapat” Cerita Ibu Muh – Jakarta.
Sayangnya, Negara tidak memastikan jaminan perlindungan terhadap perempuan dalam mengakses fasilitas, kapasitas, akses izin usaha, akses pasar dan subsidi modal usaha yang mereka butuhkan dalam mengembangkan inisiatif ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak sedikit pula, tempat aktivitas ekonomi perempuan digusur paksa oleh Pemerintah atas nama proyek/program pembangunan.
Wajah ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi perempuan yang diatas, menunjukkan wajah pemiskinan perempuan yang diakibatkan oleh sistem negara dan non negara. Kebijakan dan proyek/program pemerintah yang dibangun tanpa pelibatan penuh dan persetujuan perempuan, telah memperparah ketidakadilan gender dan ekonomi bagi perempuan.
” Negosiasi-negosiasi G-20 semasa Indonesia presidency, tidak boleh mengabaikan suara-suara perempuan akar rumput. Usaha-usaha pemulihan ekonomi juga harus mendengar suara dan inisiatif mereka dengan memastikan perlindungan hak dan akses perempuan atas lingkungan dan sumber daya alamnya” Ungkap Titi Soentoro – Direktur Eksekutif Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi.
Meskipun Indonesia telah memiliki UU No.7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender, sayangnya kebijakan ini seperti “dimatikan” karena tidak diintegrasikan dalam seluruh kebijakan dan proyek pembangunan, apalagi proyek-proyek yang merusak lingkungan dan eksploitasi Sumber Daya Alam. Justru, perempuan pembela HAM dan Hak Atas Lingkungan Hidup yang memperjuangkan hidup dan sumber kehidupannya, sering mendapatkan intimidasi, kekerasan, hingga kriminalisasi oleh Negara akibat suara-suara perjuangan perempuan.
Untuk itu, pada Hari Perempuan Internasional, Aksi! bersama 22 organisasi[1] dan perempuan komunitas dari 10 daerah di Indonesia, menuntut Negara untuk:
Menjamin pelibatan penuh perempuan dengan ragam identitas, di dalam setiap tahapan proses pengambilan kebijakan maupun persetujuan terhadap proyek atau program pembangunan.
Menghentikan program dan atau proyek-proyek pembangunan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, merusak lingkungan hidup dan mengekploitasi sumber daya alam yang menggusur sumber kehidupan dan memiskinkan perempuan.
Mencabut kebijakan iklim dan menghentikan proyek-proyek respon perubahan iklim yang mengabaikan hak asasi manusia, keberlanjutan lingkungan hidup, tidak responsive gender dan tidak berpihak pada perempuan.
Mencabut UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang mempermudah negara dan atau perusahaan untuk melakukan perampasan lahan, pengrusakan lingkungan dan eksploitasi SDA, serta mengancam hidup dan sumber kehidupan perempuan, termasuk meningkatkan kriminalisasi bagi perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pembela HAM, serta menghentikan segala tindakan ancaman dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan lingkungan.
Menjamin perlindungan ekonomi perempuan, termasuk perempuan pekerja informal, dengan menyediakan jaminan akses ketersediaan fasilitas, akses izin usaha bagi perempuan miskin, akses modal dan pasar untuk memperkuat ekonomi perempuan.
Mengakui dan mendukung inisiatif-inisiatif perempuan dalam pengembangan ekonomi, maupun menjaga sumber-sumber ekonomi komunitas.
Menjamin perlindungan perempuan korban kekerasan seksual, dengan menyediakan layanan bantuan hukum dan menyediakan fasilitas rumah aman dan penguatan ekonomi bagi perempuan korban kekerasan seksual.
Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak perempuan penyintas bencana, termasuk penyintas bencana iklim, baik tempat tinggal, akses pangan, akses pemulihan ekonomi, dan perlindungan dari berbagai ancaman kekerasan seksual, termasuk pemulihan dari trauma akibat dampak bencana.
Nama-nama organisasi:
(1) Walhi Jakarta
(2) Jaringan Pekerja rumahan Jakarta (JPRI)
(3) KSPPM (Sumut)
(4) Serikat Tani Kabupaten Toba
(5) Konco Sinau Purwokerto
(6) Solidaritas Perempuan Kinasih
(7) Esbisquet Palangkaraya
(8) SP Mamut Menteng /Kalteng
(9) Jaringan Perempuan Indonesia Timur -JPIT Kupang
(10)Solidaritas Perempuan Makassar
(11)Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Maju Bersama (Bengkulu)
(12)Genesis/Bengkulu
(13)Live Indonesia/ Bengkulu
(14)LBH Bali WCC Bali
(15)Forum Puspa Kab. Tabanan Bali
(16)Forum Puspa Propinsi Bali, wilayah Denpasar
(17)IWAPI Kab. Tambanan
(18)Fatayat NU Maluku
(19)LAPPAN/ Maluku
(20)TIKI Papua –Jayapura
(21)Lekat – Jayapura
(22)Yayasan Harapan Ibu
(23) Komunitas Lowewini – Kupang
(24) Serikat Tani Kabupaten Samosir- STKS